Potret Rusidah Badawi, Fotografer Profesional Tanpa Tangan Asal Purworejo
Namun, kehilangan tangan tidak menjadi penghalangnya dalam mengembangkan diri. Wanita asal Desa Botorejo, Kecamatan Bayan, Purworejo, Jawa Tengah ini antusias dengan dunia fotografi. Ia merupakan fotografer lintas generasi. Mulai dari menggunakan kamera film analog hingga beralih ke kamera digital. Puluhan tahun menggeluti kamera selaras dengan skilnya begitu mengangumkan. Berbagai event daerah hingga nasional tak lepas dari partisipasinya sebagai fotografer.
Tidak semua bagian lengannya hilang, hanya bagian tangan mulai dari siku hingga jari-jarinya. Mengoperasikan kamera menggunakan otot lengan bekas luka amputasinya.
Rusidah yang lahir tahun 1968 ini harus menerima kenyataan kehilangan kedua tangan. Selepas tamat sekolah menengah ia melanjutkan ketrampilan menjahit di pusat pelatihan penyandang cacat di Solo. Namun, hasrat memaksannya untuk terjun ke dunia fotografi dan kembali ke Purworejo. Kamera analog dengan film negatif menjadi sarananya belajar.
Padahal di era modern ini, tak sembarang orang mampu mengoperasikannya. Rusidah juga mengaku kesulitan, akhirnya membuat modifikasi tripod di dada. Hingga memasang skrup pada tombol untuk memotret gambar. Jika tidak hasilnya akan buram, karena kamera analog sangat sensitif terhadap getaran.
Tak berhenti, setiap hambatan selalu ia temukan jalan keluar. Memasang rol film negatif ke dalam tubuh kamera butuh ketrampilan khusus. Terlebih hingga mengganti lensa dengan mode yang beragam.
Keterbatasan fisik membuat mentalnya saban hari terasah. Perkembangan teknologi ia ikuti dengan beralih menggunakan kamera digital, atas penghargaan yang ia dapatkan. Instansi di China, Taiwan, hingga Pressiden RI ke 6, SBY kala itu juga mengapresiasinya. Tentu dengan fitur terbaru kamera digital ia semakin percarya diri dengan kualitas gambarnya.
Keterbatasan fisik bukanlah yang ia harapkan untuk menjadi perhatian dunia. Ia lebih senang jika fotonya benar-benar dihargai karena kualitas hasil jepretannya. Ia tak ingin dipandang sebagai orang lemah, atau bahkan dikasihani.
Setelah satu bulan belajar kamera digital akhirnya ia menguasai perkembangan modern. Saat itu ia mulai lebih tekun menggeluti juru foto. Bahkan ia punya studio foto sederhana di rumahnya lengkap dengan mesin cetak fotonya.Ibu satu anak ini bangga dengan pekerjaannya. Kini ia ikut dalam kelompok fotografer dan beberapa komunitas penyandang disabilitas. Berbagi pengalamannya di dunia fotografi. Tak hanya itu, beberapa kali ia juga menjadi pelatih bagi anak muda yang ingin mengenal lebih jauh mengenai kamera.
Semakin pesatnya teknologi juga memojokkannya dalam jasa fotografi. Aneka smartphone dengan kamera canggihnya semakin menggeser era kamera digital. Namun Rusidah tak ambil pusing, baginya pencapaian sebagai fotografer sudah ia dapatkan. Mengatasinya kini ia punya bisnis angkringan di depan rumahnya yang ia kelola bersama suaminya, Sutardi.